2008/07/16

Kata-kata mutiaramu

"Kesedihan hanya untuk mereka yang tidak bersyukur"
(Wanda, Semarang)









Berikan kata-katamu (pada komentar di blog ini), akan kami postingkan untuk kamu. - Sertakan nama dan kotamu -


2008/07/02

ABSTRACK


Planet ini milik kita bersama, bumi yang sama. Walaupun tinggal di planet yang sama, sebenarnya kita hidup dalam dunia-dunia yang berbeda. Kita telah berhasil mengkotak-kotakkan dunia ini. Nilai-nilai kita berbeda. Apa yang saya anggap penting dan bernilai, bagi Anda mungkin tidak berati sama sekali. Dan apa yang Anda anggap bernilai, bagi saya mungkin hal yang sepele. Apa yang dianggap penting satu kelompok, mungkin tidak penting bagi kelompok yang lain. Begitu sebaliknya. Berapa lama, berapa lama lagi kita harus membiarkan keadaan ini berlangsung di antara kita? Berapa lama lagi kita harus mempertanyakan sikap acuh-tak-acuh di antara kita? Berapa lama lagi jurang seperti ini dapat memisahkan kita? Kapan kita bisa mulai melihat dunia ini dari sudut pandang yang sama?

2007/09/19

Perjamuan Jiwa



Kasihku, bangkitlah! Bangkitlah atas nama jiwaku yang menjamu dari keluasan samudera dan melambaikan sayap-sayapnya kepadamu dari garangnya gemuruh gelombang.

Bangkitlah atas nama kesenyapan yang telah membunuh gelegar derap kuda dan pengembara yang berlalu lalang.

Aku masih saja membuka mata seorang diri, sekalipun rasa kantuk telah melipat jiwa-jiwa manusia. Tak lain lantaran rasa kangen senantiasa menyentakkanku dari beratnya mata.

Cinta lantas menggendongku meninggalkan bentangan jari-jarimu, lantaran kegelisahan tak kunjung letih mengusikku.

Kasihku, telah kulupakan bilik kamarku, kantaran aku sungguh cemas akan gangguan hantu-hantu kealpaan yang berkubang di balik selimut yang terajut dari kelembutan kapas-kapas. Bahkan demi bisikan kesunyianku yang mencekam, akupun telah mengusir helaian-helaian suci di depan mataku dan kuhanguskan semua kitabku.

Kasihku, bangkitlah, bangkitlah, lalu simaklah jeritan resah istana jiwaku.

Kasihku, aku selalu mendengar bisikanmu. Kurasakan engkau tengah memanggil-manggilku dari kedalaman samudera dan kunikmati elusan sayap-sayapmu yang sangat sahdu. Aku telah mengabaikan bilik kamarku dan aku rela mengendus di muka rerumputan, kendati embun malam menciumi kakiku dan membasahi gaunku. Di sini, aku berdiri seorang diri, di bawah mekar-mekar pohon almond, membiarkan bayanganmu tetap bersemayam dalam belantara sukmaku.

Kasihku, turunkanlah padaku, restuilah saputan angin dari gunung-gunung Lebanon yang memblaiku sepoi-sepoi. Katakanlah, lantaran tak ada seorangpun yang akan mendengar kecuali aku. Malam telah gelap, lelah menggayut di tubuh mereka.

Kasihku, surga telah dianyam dalam kerudung cahaya malam dan terpaparkan ke seluruh negeri Lebanon.

Kasihku, surga telah didandani cahaya purnama bulan dari sebuah jubah tebal menderetkan asap-asap dan nafas Kematian, serta terbentang di atas bingkai kota.

Penduduk desa telah merindukkan dirinya di hadapan lelap di dalam gubuk-gubuk yang bertebaran di antara pohon-pohon willow dan kenari. Jiwa mereka telah terhampar dalam bunga-bunga impian masa depan.

Teka Teki


Dalam salah satu episode cerita Mahabarata, ada kisah yang begitu indah dan mendalam dimana Si Sulung Pandawa mendapat pelajaran berharga. Setelah diakali oleh Kurawa (para raksasa jahat), Lima orang pangeran bersaudara (yang disebut Pandawa Lima) diusir dari kerajaan mereka. Dalam pengembaraan di sebuah hutan, mereka sangat kehausan. Saudara yang termuda lalu pergi mencari air dan menemukan sebuah telaga. Di tepi telaga itu berdiri seekor burung bangau putih. Si pemuda berlari ke telaga, tetapi sebelum sempat meminum airnya, burung bangau itu berbicara.

“Berhenti!” teriak si bangau. “Ini telagaku. Kalau kamu menyentuh air ini sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaanku, kamu akan mati.”

Pemuda itu nekat mengabaikan peringatan si bangau. Dia membungkuk untuk minum dan jatuh mati di tepi air.

Beberapa saat kemudian seorang saudaranya datang untuk mencarinya. Dia juga sudah merasa tersiksa oleh rasa hausnya, dan membungkuk di tepi telaga untuk meminum airnya. Tepat pada saat dia akan memuaskan dahaganya, burung bangau putih itu berbicara kepadanya: “Berhenti! Kalau kamu menyentuh air ini sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaanku, kamu akan mati.” Anehnya, meskipun pangeran muda itu sudah melihat saudaranya terkapar tak bernyawa lagi di dekatnya, rasa hausnya membuat dia tak dapat menahan diri. Dia akhirnya jatuh dan mati di samping saudaranya.

Satu demi satu, dua saudara yang lainnya menemui ajal dengan cara yang sama. Hanya yang tertua, yang berduka cita di tempat saudara-saudaranya terbaring, yang bersedia mengesampingkan rasa hausnya, dan menjawab teka-teki si bangau yang mirip dengan teka-teki sphinx di Mesir. Salah satu pertanyaan yang diajukan mempunyai arti yang sangat dalam:”Apakah yang paling mengherankan dalam hidup ini?”

Pangeran itu menjawab, “Meskipun setiap hari melihat orang lain mati, ada banyak orang yang tidak pernah berpikir bahwa dirinya sendiri akan mati.”

Akhirnya bangau itu menampakkan wujud aslinya, yang tidak lain adalah Dewa Kebenaran yang sedang menyamar, dan dia menghidupkan saudara-saudara si pangeran.

Musafirkhana


Ada sebuah cerita yang sangat menarik sekali………
Cerita tentang Sultan Ibrahim dari
Balkh.
Pada suatu hari seorang yang tidak dikenal mendatangi istananya dan tanpa babibu menggelar karpet dan merebahkan diri di atasnya.
Dengan marah,. Sang Sultan bertanya: “Kau piker kau berada di mana?”
Orang tak dikenal itu menjawab dengan santai” “Ku pikir ini musafirkhana, tempat persinggahan.”
“Apa maksudmu? Istana ini kau pikir sebuah musafirkhana ?” sang Sultan tambah berang.
Masih tetap santai, orang tak dikenal itu manjawab, “Jangan marah Sultan, tapi tolong jawab pertanyaan saya… Sebelum Baginda, siapa yang menempati istana ini?”
Sang Sultan menjawab” “Ayahku! Beliau yang tinggal di sini!”
“Dan di mana Ayah anda saat ini?” Tanya orang tak dikenal itu.
“Sudah meninggal!”
“Dan sebelum ayah anda, siapa yang tinggal di sini?”
Sultan menjawab: “Kakekku. Beliau yang menempati istana ini sebelum Ayah.”
“Di mana kakek baginda saat ini?”
Sang Sultan merasa jenuh dgn keusilan orang tak dikenal itu, tetapi dilayaninya. “Juga telah meninggal!”
“Dan sebelum Beliau, siapa yg tinggal di sini?”
“Buyutku.”
“Dan di mana beliau saat ini?”
“Tentu saja sudah meninggal!”
“Bila demikian”, kata orang tak dikenal itu, “tempat ini jelas tempat persinggahan sementara. Banyak yang telah dating, bersinggah dan meninggalkan tempat ini itk melanjutkan perjalanan mereka. Sultan, pada suatu ketika Baginda pun harus meninggalkan tempat ini dan melanjutkan perjalanan Baginda.”
Setelah mengucapkan kalimat terakhir, orang tak dikenal itu lenyap tanpa bekas, tetapi kata2 yg diucapkannya telah membekas dan menyadarkan Sang Sultan: “Ini bukan istanaku. Betul, tempat ini memang musafirkhana. Dunia ini ibarat musafirkhana. Sekian banyak yang lahir dan mati setiap hari. Dunia ini bukanlah rumahku. Dan, bila dunia ini bukan rumahku, di manakah rumahku? Apa tujuan persinggahanku ini?”
Sejak itu Sang Sultan tdk pernah bebas dr pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dia tdk bias lagi tidur nyenyak. Di tengah malam dia akan terjaga dan bertanya pada diri sendiri, “Apa tujuan hidupku? Apa arti persinggahanku ini? Di mana pula rumah asalaku?”
Pada suatu hari ia mendengar suara: “Bila kau ingin jawaban atas pertanyaan2mu, bebaskan dirimu, lepaskan!”
Sang Sultan memahami maksud suara itu. Dia meninggalkan tahta dan istananya.

2007/09/14

Naradha Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas



Judul : Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas
Oleh : Anand Krishna Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan I : Agustus 2001 Foto Sampul : Maria Dharmaningsih Tebal : 337 Halaman


Dalam dunia wayang, NARADA dikenal sebagai Dewa. Brahma Rishi ini sebenarnya adalah tokoh historis. Sepeninggal ibunya secara tiba-tiba, pemuda ini mulai mengembara, untuk menguasai segala cabang pengetahuan.
Dengan penguasaan pengetahuan yang ada pada zamannya, hati pemuda ini sama sekali tak terpuaskan, sampai akhirnya dia bertemu dengan Sanatkumara, seorang pujangga dari Kalpa yang sudah berlalu.
Olehnya Narada diingatkan bahwa hanya ada satu yang akan memuaskan hatinya,...yaitu "Yang Hanya Satu Ada-Nya,....Kasih, Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas."
Karena itu, mulailah Narada menyelami Cinta dan Bhakti Sutra adalah mahakarya hasil penyelamannya.
Dengan komentar Anand Krishna, kini karya klasik ini terbuka bagi kita. Bagaikan cermin, kita bisa menatapnya untuk menemukan diri, dan DIA yang bersemayam Di Dalam Diri. (Sinopsis)

Narada Bhakti Sutra:
Menyanyikan Cinta Ilahi

"Bagaimana menyadari Kasih dalam diri?" bertanya Narada pada Sanatkumara. "Bila sulit menyadari-Nya di dalam diri, anggaplah Dia berada di luar diri," jawab Sang Guru yang bijaksana.

Narada memahami maksud Sanatkumara. Sayangnya, sebagian manusia tidak. Maka, lahirlah konsep-konsep buatan manusia tentang Tuhan, Sesuatu yang Maha Ada, di luar diri yang disalahpahami. Manusia yang belum bisa menyadari kasih di dalam diri, melahirkan konsep untuk "dikasihi" dan berhenti pada tahap itu. Mirip dengan pemahaman filsafat barat tentang munculnya "alienasi", atau keterasingan manusia dari dirinya yang sejati. Manusia memproyeksikan Yang Maha Ada sebagai sesuatu di luar dirinya, tapi, lama-kelamaan, manusia diperbudak oleh konsep buatannya sendiri. Tuhan yang dikenal manusia menjadi Tuhan yang "pemarah" dan "penghukum". Celakanya, berbagai kelompok manusia melembagakan pemahaman ini, yang kemudian menjadi fanatisme buta yang saling menghancurkan. Masing-masing mengatasnamakan Tuhan yang "pemarah" untuk menindas yang lain. Tak heran jika terdengar ada orang-orang yang saling meledakkan gereja, vihara, pura atau masjid.

Manusia lupa bahwa konsep-konsep tentang Tuhan itu hanyalah alat bantu. Seperti kata Anand Krishna dalam buku yang membahas karya pujangga asal India, Narada, berjudul Narada Bhakti Sutra, "menganggap Tuhan di luar diri ibarat bercermin diri. Cermin bisa menjadi alat bantu. Lewat 'bayangan diri' yang terlihat, mata bisa menyadari 'keberadaan diri." Konsep itu bisa jadi alat bantu "asal kita tidak berhenti pada tahapan itu." Cinta Kasih Ilahi mesti diselami.

Narada Bhakti Sutra adalah sebuah karya klasik Narada, yang dipercaya berasal dari kalpa terdahulu (siklus kehidupan semesta sebelumnya), yang tema sentralnya adalah Cinta Kasih atau Bhakti, Cinta yang Tak Bersyarat dan Tak Terbatas. Lepas dari siapa sebenarnya Narada, yang lebih menarik adalah tema yang dibahas dalam kitab ini. Di sini, Cinta Kasih tak sekedar dibahas sebagai utopia yang tak terjangkau oleh manusia. Lebih dari itu, Narada mengajak untuk masuk menceburkan diri dalam Cinta, bersatu dengan Kasih Ilahi. (Peresensi: Wandy Nicodemus, bekerja di The Asia Foundation, Jakarta)